Pada tahun 2016 media sosial dipenuhi dengan perbincangan tentang larangan bagi Ida Pandita untuk melakukan muput di Bale Pemiyosan di Pura Dasar Bhuwana Gelgel. di mana Ida Pandita Mpu tidak diizinkan oleh salah seorang pemangku di Pura tersebut.
Mari kita simak sejarah dari berdirinya Pura Dasar Bhuwana yang awalnya didirikan oleh Mpu Dwijaksara pada tahun Saka 1189 atau tahun 1267 Masehi untuk memuja kawitan pasek (ratu pasek) Mpu Gana. Oleh Dalem Gelgel Sri Swara Kepakisan, dimohon untuk menjadikan pura ini sebagai Pura Kerajaan. Dengan izin tersebut, pada tahun 1380, pura tersebut diperbesar (direnovasi) dan resmi menjadi pura kerajaan dengan nama Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Karena dijadikan pura kerajaan, penyungsungan dua warga baru dibuat di sana, menjadi Penyungsungan Tri Warga, yakni selain Pasek, ditambah Satria Dalem dan Pande. Di era Danghyang Nirartha pada tahun 1489 Masehi (1411 Saka), Pura Dasar Bhuwana tersebut ditambah dengan Penyungsungan warga Brahmana Ciwa. Sejak saat itu hingga sekarang, di pura tersebut terdapat penyungsungan Catur Warga.
Namun, mengapa sulinggih/Pandita Mpu justru tidak diizinkan untuk munggah di pemiosan, itu terjadi jauh setelah Indonesia Merdeka. Konon (ini belum penelitian formal, silakan dicari sumbernya) di pura tersebut dibangun pemiosan. Secara letak dan tata linggih pura, tentu saja pemiosan diletakkan di tengah-tengah jeroan, tepat di depan penyungsungan Brahmana Siwa dan Pande. Penyungsungan Ratu Pasek Mpu Gana, karena didirikan paling awal dan saat jeroan masih kecil, letaknya di sudut tidur dekat Kori Agung. Letaknya “nyempil” yang tidak mungkin membuat pemiosan di depan itu karena akan sulit bagi orang lalu lalang. Karena mengapa satu jeroan ada dua pemiosan (atau bahkan empat) tentu saja aneh, mengapa tidak dibuat satu untuk semua sulinggih. Pemikiran awalnya demikian.
Terlepas dari masalah tersebut, Majelis Luhur Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) Pusat, Propinsi Bali dan Kabupaten kota se Bali bersama seluruh Sabha Walaka Pusat, Propinsi dan Kabupaten kota se Bali mengadakan pesamuhan di Sekretariat MGPSSR Jln Cekomaria 777 Denpasar. Pesamuhan dihadiri oleh sekitar 40 orang sulinggih dan ratusan pemangku dan semeton MGPSSR seluruh Bali. Pesamuhan pada awalnya diadakan secara terpisah antara Pesamuhan Sulinggih dan Pesamuhan Sabha Pandita.
Sebuah perjalanan panjang dalam sejarah dan perjuangan telah mendorong kita untuk bersatu, mengangkat sorotan pada nilai-nilai kebersamaan dan keadilan. Majelis Luhur Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) bersama seluruh Sabha Walaka di Bali menggelar pesamuhan yang sarat makna di Sekretariat MGPSSR, mencerminkan semangat untuk menegakkan kebenaran dan persatuan di tengah tantangan yang muncul.
Pesamuhan ini menjadi ajang penting untuk menghadirkan kesadaran akan pentingnya menjaga keharmonisan dan kesetaraan dalam praktik keagamaan. Sulinggih dan pemangku dari berbagai wilayah Bali hadir, mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang mengecewakan di Pura Dasar Bhuwana, yang mencoreng nilai-nilai kesejajaran dan penghormatan dalam beribadah.
Namun, dari kegelisahan dan kekecewaan itu, muncul keputusan tegas untuk menegakkan keadilan:
- Penghormatan kepada Warisan Leluhur: Ida Betara Mpu Gana, leluhur yang dihormati oleh Semeton Pasek, akan ditinggikan di Pura Catur Lawa Besakih, tempat yang pantas untuk menghormati keagungan beliau.
- Kesatuan dalam Pelaksanaan Upacara: Upacara pemindahan akan dilangsungkan dengan khidmat pada tanggal 11 dan 12 September 2016, sebagai bentuk penghormatan dan persatuan antara Sabha Pandita MGPSSR Klungkung dan Karangasem.
- Pengiriman Keputusan kepada Seluruh Semeton: Kesepakatan ini akan disebarluaskan kepada semua pengurus MGPSSR di seluruh Bali, membangkitkan semangat persatuan dan kepatuhan terhadap ajaran luhur.
- Berkumpul dalam Penghormatan: Seluruh Pandita Mpu, Bhawati, Pemangku, dan semeton Pasek di seluruh Indonesia diundang untuk menghadiri dan memberikan penghormatan kepada Ida Betara Mpu Gana pada tanggal 11 hingga 12 September 2016.
- Visi Membangun Pura Khusus: Langkah berikutnya adalah merancang pembangunan Pura khusus untuk menghormati Ida Betara Mpu Gana, sebuah tindakan nyata untuk memperkuat kembali identitas dan kekuatan spiritual.
- Menyikapi Tantangan Sebagai Momentum: Peristiwa pelecehan terbaru di Pura Dasar Bhuwana menjadi momentum penting bagi semua Dadya Kepasekan dan semeton Pasek di seluruh Bali untuk bersatu, kembali memahami, dan mematuhi ajaran suci.
Setelah peristiwa kontroversial pada tahun 2016, di mana Sulinggih dan Pandita Mpu dari Pasemetonan Pasek Mahagotra Sanak Sapta Rsi di Bali mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan pelecehan di Pura Dasar Bhuwana, muncul sebuah semangat persatuan yang menggerakkan seluruh komunitas. Meskipun terpisah-pisah dalam kegiatan keagamaan dan budaya mereka, mereka menghadapi masalah yang sama dan memutuskan untuk bersatu dalam mengatasi hal tersebut.
Pembangunan Pura Penataran Agung Catur Parahyangan Ratu Pasek Linggih Ida Betara Mpu Ghana
Lokasi Pura Penataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek dipilih di Punduk Dawa karena adanya petunjuk-petunjuk dari sulinggih serta pertimbangan spiritual dan alamiah yang dianggap suci, dipilihlah daerah perbukitan Punduk Dawa sebagai lokasi yang sesuai. Keputusan ini diambil karena daerah tersebut memiliki ciri-ciri yang dianggap suci, seperti adanya sumber mata air, keberadaan gunung, dan dekat dengan laut.
Selain pertimbangan niskala (alam nyata), sulinggih juga memberikan petunjuk mengenai ciri-ciri Ida Bhatara Mpu Gana yang berkenan berstana di tempat tersebut. Salah satu tanda yang diungkapkan adalah munculnya bunyi dentuman keras.
Kepercayaan ini terbukti ketika pada beberapa hari sebelum dimulainya proses pembangunan pura, bunyi dentuman yang dijelaskan oleh sulinggih terdengar dengan jelas oleh mereka yang hadir, menegaskan bahwa lokasi yang dipilih adalah tempat yang dikehendaki oleh Ida Bhatara Mpu Gana.
Dengan dukungan petunjuk dari alam dan sulinggih, serta keyakinan yang kuat dari Pasemetonan MGPSSR, pembangunan Pura Penataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek dimulai. Pura ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat kegiatan keagamaan, budaya, dan sosial bagi masyarakat setempat, memperkuat ikatan spiritual dan sosial di antara mereka.
Alasan pentingnya sembahyang di Pura Punduk Dawa Linggih adalah karena tempat tersebut memiliki makna yang dalam bagi Pasemetonan Pasek. Pura ini bukan hanya sekadar tempat ibadah, tetapi juga menjadi simbol kebersamaan, kehormatan, dan kekuatan spiritual. Di sinilah semeton Pasek Mahagotra Sanak Sapta Rsi dapat berkumpul, berkomunikasi, dan memperkuat ikatan sebagai satu kesatuan yang kokoh.
Komunikasi yang terbuka dan harmonis antara semua anggota pasemetonan menjadi kunci penting dalam menjaga persatuan dan keharmonisan. Mereka memahami bahwa dengan berbagi pemikiran, mendengarkan satu sama lain, dan menyelesaikan konflik dengan penuh pengertian dan kasih sayang, mereka dapat mencapai kedamaian dan keselarasan dalam pasemetonan. Melalui semangat persatuan dan kebersamaan ini, Pasemetonan MGPSSR menghadapi masa depan dengan penuh keyakinan dan optimisme, siap untuk mengatasi setiap rintangan yang mungkin datang dan memperkuat warisan spiritual dan budaya untuk generasi yang akan datang.
